20.10.07

Penderitaanku hanyalah sebagian kecil saja dari penderitaan berjuta-juta rakyat yang lain, kata Sutan Syahrir, yang akhir-akhir ini namanya sering disebut-sebut di buku Sejarah saya, perdana menteri kala Indonesia dalam fase republik parlementer. Orang yang sering mewakili tanah air dalam perundingan maupu penandatanganan berbagai perjanjian dalam upaya mempertahankan Indonesia merdeka. Pendapatnya membuat saya tersentak saat lagi asyik-asyiknya baca buku karangan Herlinatiens,”Malam untuk Soe Hok Gie”, sangat dalam dan sangat jarang dilakukan anak negeri di bangsaku ini, termasuk diriku sendiri, intinya pengorbanan itu sangat sedikit orang yang menjalankan, semua orang sekarang merasa dirinya paling merana, tidak melihat keadaan di bawahnya, sehingga penindasan dalam segala bentuk terus dan terus saja terjadi, karena setiap orang merasa dirinya paling menderita, perasaan inilah yang juga membuat orang-orang tidak bersyukur, efeknya seperti yang sudah ditetapkan Tuhan, Dia akan menyiksa setiap orang yang ingkar terhadap nikmatNya, padahal sebaliknya, dengan bersyukur, Dia akan menambah-nambah karunia buat setiap hambaNya. Mungkin itu sekelumit penyebab Indonesia sekarang jadi semakin terpuruk. Bisa saja. Sebenarnya mereka tidak menderita, hanya perasaannya saja.
Ngomong-ngomong aku merasa diriku kini agak menyerupai Gie, dalam aspek arogansi, merasa paling benar, kesendirian, dan kekolotan dengan dalih berpihak pada kebenaran, yang katanya kebenaran itu cuma bikin sengsara. Ya, saya setuju! Makanya sekarang banyak manusia berpaling dari kebenaran, biar nggak sengsara, dengan nyamannya mereka memasang topeng kepura-puraan dan kepolosan yang sebenarnya membuat mereka gerah, tapi mereka takut bersuara, “biar enak, cari amannya aja”, katanya. Kayaknya mereka itu sesat, tahu yang benar, tapi menyembunyikannya. Pecundang! Kadang orang bilang ada kalanya kita harus bohong buat kebaikan, pokoknya nggak merugikan diri sendiri dan orang lain, itu nggak masalah. Tapi kalau bohong itu berdampak sebaliknya, ya lihat saja nanti kalau sudah tidur di bawah tanah pekuburan. Tinggal hitung-hitungan dengan Sang Maha Adil saja!
Lepas dari itu, OK, prinsip orang memang beda-beda. Tapi prinsip saya tidak seperti itu, biarlah orang-orang pendusta itu bersuka ria di atas dunia. Merekalah orang-orang yang pikirannya pendek dan sempit. Belum sadar mungkin, kalau hidup di dunia ini cuma sebentar, paling beberapa puluh tahun, itupun kalau Penciptanya mengijinkan.
Hei! Jangan merem terus! Memang benar segala perubahan untuk jadi lebih baik itu susah, butuh proses, butuh waktu. Tapi mbok ya jangan santai-santai terus, memangnya waktumu di dunia masih banyak? Memangnya waktumu berjalan dengan kendalimu?
Selagi ada kesempatan, kenapa tak kau ikuti proses itu, kalau sudah meninggal dunia baru menyesal, baru tau rasa! Makanya mikir! Saya begini nggak bermaksud menekan, hanya saja saya yang merasa benar untuk saat ini ingin mengajak kalian para perusak moral bangsa untuk melalui proses tersebut. Itupun kalau ada yang ngerasa. Maaf kalau saya terlalu keras, karena kelembutan itu sering diremehkan, dianggap sepele dan merupakan simbol ketidakberdayaan. Saya juga tahu kalau kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah yang lebih besar, dan saya tahu kalau api itu kalah dengan air. Tapi inilah yang saya bisa. Saya memang baru belajar dan baru bisa menjadi api, belum bisa jadi air. Dan saya berusaha mengkonkretkannya.
Yang saya tahu pelajaran yang tidak diamalkan itu berarti pelecehan terhadap ilmu, sedangkan ilmu itu adalah sesuatu yang benar-benar berharga, sehingga menyia-nyiakannya berarti sama dengan pemborosan. Sayangnya hanya sedikit orang yang merasa rugi di dunia ini. Hanya dengan terpuaskannya segala nafsu oleh berlimpahnya materi, mereka merasa sudah ada di atas awan. Sudah merasa jadi orang paling kaya dan berhak apapun seenak udelnya (mungkin kalau saya ada di posisi mereka, saya juga akan berlaku seperti itu, jadi tolong diingatkan). Padahal semua itu SALAH BESAR! Mereka memang sudah dibutakan oleh kekuasaan, sehingga secara tidak langsung turut serta dalam membodohi diri mereka sendiri, dan payahnya buta mereka itu menerjang semua yang ada di depannya alias menyusahkan orang lain di sekitarnya. Mereka nggak mengimbangi kebutaan itu dengan tongkat kendali. Yah begitu jadinya.
Kira-kira seperti itulah potret penguasa dan jelata yang bisa saya lihat sampai saat ini, di mana saja. Kok jadi hukum rimba sih yang berlaku di bumi ini? Padahal sekarang ini jaman modern, sudah tahun 2007, tapi kenapa pola pikir penghuninya masih seperti manusia purba. Benar, yang kuat yang bertahan, yang lemah berantakan, biar memacu setiap orang buat selalu berusaha jadi pemenang dan terus berkompetisi, tapi kalau sudah kuat, jangan menyelewengkan kekuatan itu buat menjatuhkan orang lain dong! Kenapa penindasan selalu meraja lela? Terus buat apa, orang-orang berpendidikan susah-susah membuat hukum-hukum formal dengan segala ancamannya kalau cuma untuk diacuhkan? Kasihan sekali mereka. Apalagi di otak-otak generasi muda sekarang sudah tertanam kalau hukum itu dibuat untuk dilanggar, boleh saja. Itu kan pikiran remaja, pikiran transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Jadi sah-sah saja. Sebagai remaja saya sih setuju-setuju saja. Hanya orang bodoh yang tidak menghiraukan kenikmatan dan tidak menikmatinya.
Tapi ya, remaja itu toh juga nggak akan selamanya jadi remaja, bumi ini terus berotasi sehingga memaksanya tumbuh jadi semakin tua. Proses tersebut seyogyanya diiringi dengan pemikiran! Masa cuma mau jadi manusia tua saja, tapi nggak dewasa? Malu-maluin! Iya kalau tua itu nggak menikah dan berkeluarga, jadi bisa lepas tanggungjawab karena nggak perlu mendidik anak-anaknya, cuma perlu ndidik diri sendiri, benar atau salah, urusannya sendiri, resiko ditanggung sendiri. Tapi kalau sudah tua, kekanak-kanakan, mau jadi apa bumi ini. Padahal Tuhan sudah baik sekali, memfasilitasi ciptaanNya dengan segalagalagalagalanya. Apa mau disia-siakan? Apa mau membuang nikmat Tuhan untuk kesekian kali? Apa mau jadi manusia bodoh dan semakin merugi? Kalau mau ya terserah saja. Tapi aturannya sih, rugi itu selalu berbuntut kalah, lalu kalah itu berbuntut kecurangan, iri, dan dengki (walaupun menang juga nggak bagus-bagus amat, karena bisa melahirkan ketakaburan dan kepongahan, tergantung orangnya juga). Akhirnya perang pemenang dan pecundang nggak akan berhenti sampai salah satu di antaranya mati.
#Sari, melampirkan pendapat BondanF2B, Einstein, dan orang-orang di berbagai sisi kehidupan#

No comments: